Untuk mempersiapkan pernikahan, seorang hamb tidak hanya butuh kesiapan biologis saja atau mental yakni kesiapan untuk menghadapi kehidupan rumah tangga yang pastinya pelik dan penuh masalah, tetapi juga kekuatan.
Kekuatan tak sekedar dilihat dari badan yang kekar dan berotot, tetapi teguh dalam memberikan manfaat pada pasangannya. Karena itulah Rasulullah SAW. bersabda, "Mukmin yang kuat lebih aku sukai daripada mukmin yang lemah, tetapi masing-masing memiliki kebaikannya sendiri-sendiri."
Konteks hadis ini berbicara masalah kekuatan seorang muslim dalam berjihad fi sabilillah. Jika mukmin tersebut kuat, maka mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi mush-musuhnya, memiliki taktik perang yang jitu, memiliki persenjataan yang lengkap, dan kemampuan bertarung tangan kosong atau menggunakan senjata dan lain sebagainya.
Kekuatan Iman
Selain itu maksud kekuatan disini adalah keimanannyan. Dengan keimanannya itu, ia bisa taat pada Allah. Tidak hanya amalan wajib saja yang dilakukan, tetapi juga yang sunah. Kita menyaksikan seseorang yang kurus tubuhnya, tua, dan rapuh, tetap mampu mengerjakan shalat tahajud semalam suntuk. Sementara disisi lain, ada anak muda berbadan kekar, teteapi ia tak sanggup shalat tahajud di malam hari. Jangankan shalat tahajud, bangun malam saja tak mampu. Kalah oleh nafsunya yang ingin terus-menerus tidur.
Karena itulah kekuatan iman ini penting, teruatama sebagai fondasi dalam mempersiapkan pernikahan. Sebagaimana lanjutan dalam hadis ini, "Bersemangatlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu!" (HR. Muslim)
Setelah seseorang beriman, salah satu hal yang bisa menjadi lokomotif penggerak amal ibadah di antaranya ialah menikah. Ia menjadi kekuatan yang menyegerakan keinginan seorang hamba yang memang sudah waktunya. Rasulullah SAW. bersabda, "Tiga hal yang harus disegerakan : shalat tepat pada waktunya, jenazah jika sudah siap dikuburkan, pernikahan bila sudah ada lelaki yang meminang."
Menikah adalah ibadah yang menyenangkan. Ia adalah tujuan hidup setiap pemuda. Ia "pintu" yang ingin dilewati. Ia adalah tahap-tahap untuk menjadai manusia dewasa, yang mengundang rasa penasaran jika belum dilalui. Karena itulah menyegerakannya adalah hal yang paling baik, Sebagaimana sabda Rasulullah, Apabila datang pada kalian wanita yang kalian ridhoi agama dan akhlaknya, maka nikahilah dia. Jika tidak, akan terjadi fitnah dan kerusakan yang besar di permukaan bumi." (HR. Tirmidzi)
Duhai para pemuda beriaman (kuat), akankah kalian biarkan wanita-wanita yang cantik akhlaknya dan rupawan agamanya menjadi rebutan laki-laki jahat yang menikahinya sebab tujuan-tujuan kecil, yang akan membuat kecantikan akhlaknya redup ? Kalian harus merebutnya dengan kekuatanmu (iman) karena jika tidak, akan terjadi kerusakan.
Kekuatan Rezeki
Namun, apakah cukup dengan iman ? Dalam konteks pernikahan, "kekuatan" yang lain adalah mampu memberikan rezeki yang cukup dan bermanfaat untuk orang lain. Inilah yang dimaksud Rasulullah, ketika beliau berbicara pada sekelompok pemuda di mana pada saat itu mereka tidak memiliki kemampuan apa-apa secara finansial (miskin).
"Hai para pemuda, apabila diantara kalian memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena ia dapat menundukkan pandangan dan membentengi kemaluan. Baranga siapa tdak mampu, hendaklah ia berpuasa, karean puasanya dapat membentengi dirinya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari hadis ini kita memahami bahwa dengan menikah, seseorang aka nmendapatkan rezeki karena melimpahnya berkah pernikahan tersebut. Tetapi, disisi lain, pernikahan diperbolehkan jika seseorang telah mampu untuk melaksanakn tugas dalam pernikahan itu.
"Kemampuan" (al-ba'ah)menurut para ulama terbagi menjadi dua, yakni mampu secara biologis dan mampu menyediakan tempat tinggal. Tetapi pendapat yang mahsyur adalah dari Qadhi bin Iyadh, yakni mampu memberikan rumah atau tempat tinggal, dengan sendirinya telah memiliki penghasilan.
Al-ba'ah ini menjadi bagian dari kekuatan seseorang mukmin. Sebab, mukmin yang kuat tentunya selain memiliki kekuatan biologis untuk bersetubuh, juga mempunyai kekuatan untuk menghidupi istrinya, menyediakan tempat tinggal, memenuhi keperluan makanan dan pakaian, serta sebagai kebutuhan yang lain.
Kekuatan Menafkahi Batin
Minimal, seseorang harus memiliki kekuatan biologis dalam pernikahan, karena itu menjadi tujuan pernikahan. Rasulullah SAW. bersabda, "Nikahilah wanita yang subur, karena kau akan berbangga dengan banyaknya umatku di hadapan para nabi pada hari kiamat." (HR. Ahmad)
Namun, tidak dipungkuri, banyak di anatara lelaki dan perempuan yang telah menikah itu Allah berikan cobaan dengan sulitnya punya anak, mandul, punya anak satu kemudian sulit untuk mendapatkan anak kedua, ketiga, dan seterusnya. Tetapi disisi lain, Allah cukupkan materi pada para suaminya, sehingga mereka masih dapat berbahagia.
Anggaplah, hanay satunya saja yang terpenuhi : mampu secara biologis saja, atau mampu secara materi saja sebagai ciri dari seorang mukmin yang lemah, maka kita kembalikan pada isi hadis dalam alinea dua diatas : "masing-masing memikiki kebaikannya sendiri."
Menyikapi Kelemahan
Mukmin kuat dan mukmin lemah bukanlah sebuah keukurangan, karena masing-masing masih berpredikat mukmin. Bahkan, dala mkelemahan seorang mukmin pun, kita patur terheran-heran, bagaimana seseorang yang tidak harta apapun, tetapi memiliki banyak anak : bagaimana mereka mendapatkan rezeki dan mengurus anak-anak mereka sampai besar tanpa memiliki pekerjaan tetap, benar-benar membuat kita tak habis pikir. Allah Maha Pemberi Rezeki mampu mencukupi hamba-Nya.
Di sisi lain, kita melihat pernikahan dari sebuah pasangan sampai bertahun-tahun dan belum dikarunia anak, tetapi mereka masih bisa bersabar dan terus ikhtiar. Walau secara materi berkecukupan, tetapi ketiadaan anak setelah pernikahan bisa membuat sepasang suami-istri frustasi. Namun, jika ia seorang mukmin, cobaan yang Allah berika nmendorongnya untuk terus bersabar, berusaha, dan bertawakal. Seperti halnya nabi Zakaria yang baru mendapatkan anak ketika punggunggnya telah rapuh dan rambutnya beruban. Begitu juga nabi Ibrahim yang semula bersama Sarah mengalami kemandulan, kemudian beliau menikahi budaknya, Hajar, barulah dikaruniai putra, Ismail.
Maka, benar kata Rasulullah, baik mukmin yang kaut ataupun mukmin yang lemah itu bukan untuk diperbadingkan, sebagaimana membandingkan bumi dan langit. Tetapi, keduanya seperti. mata uang yang bersisian, memiliki kebaikannya masing-masing.
Seorang pemdua yang hendak mempersiapkan diri menghadapi pernikahan, benar-benar harus menyiapkan mental dengan berbagai kenyataan pahit itu. Ketiadaan pekerjaan, ketiadaan anak, ketiadaan tempat tinggal, celaan, dan cemoohan dari orang-orang sekitar atas ketidaksempurnaan tujuan pernikahan, harus disikapi dengan terus bersabar, mendekatkan diri pada Allah, dan selalu berdoa. Pada akhirnya hal ini akan membawanya pada kebaikan juga.